Hukum Ketiga Termodinamika : membayangkan kesempurnaan Hukum
ketiga termodinamika menyatakan bahwa suatu kristal sempurna pada nol
mutlak mempunyai keteraturan sempurna, jadi entropinya adalah nol. Pada
temperatur lain selain nol mutlak, terdapat kekacau-balauan yang
disebabkan oleh eksitasi termal (Keenan, et.all., 1999:496). Kristal
adalah zat padat yang terdiri dari atom-atom diam dalam suatu barisan
statik barbaniar, suatu keadaan dimanik yang paling teratur. Zat padat
ini merupakan tingkat wujud materi yang amat langka dan terdapat di
alam sebagai planet dan meteorit. Kristal suatu zat padat sebenarnya
seperti statik atau diam saja. Pada tingkat atomik, masing-masing atom
itu sebenarnya bergetar di sekitar tempat kedudukannya dengan arah
acak. Getaran itu makin bekurang jika suhu kristal itu diturunkan alias
didinginkan. Jika dibiarkan, getaran itu akan menjadi semakin giat,
benda menjadi panas dan akhirnya membuat molekul-molekul itu terlepas
satu sama lain sehingga relatif saling bebas membentuk zat cair. Zat
cair adalah bentuk materi yang kurang “teratur” dibanding zat padat
tetapi lebih teratur dibandingkan gas. Dan zat cair itu merupakan wujud
yang paling langka dan kompleks. Sedangkan gas adalah bentuk
“kekacauan” paling sempurna yang di dalamnya setiap molekul bergerak
bebas secara acak. Jadi, begitu sulit mendapatkan zat dalam keadaan
dinamik teratur atau kristal sempurna seperti yang dibayangkan hukum
ketiga termodinamika karena pada tingkat atomik setiap zat dalam
kedudukannya selalu bergerak acak yang menyebabkan molekul-molekul
menjadi kacau atau tidak teratur.
***
Hukum pertama membahas tentang kekalnya energi yang secara tak langsung sesuai dengan persamaan Einstein berarti kekalnya materi. Pada sisi lain ketika membahas tentang sifat-sifat sistem yang senantiasa terjadi perubahan interaksi meramalkan terjadinya kemusnahan sistem alam semesta. Ketidak-konsistenan logika hukum termodinamika terjadi pula dalam hukum ketiganya. Hukum ketiga Termodinamika ini membayangkan suatu susunan kristal sempurna dengan cara mengekstrapolasi sampai mencapai suhu nol mutlak. Sepanjang berbagai macam literatur yang penulis baca, tidak dijelaskan besaran suhu pada nol mutlak tersebut [Celcius, Reamur, Fahrenheit, atau Kelvin). Apabila digunakan suatu besaran yang jelas tentu mempunyai arti. Tentunya dalam sistem yang senantiasa berubah, suhu pun berubah. Apabila dikaitkan dengan sistem, suhu merupakan variabel terikat yang mengikuti perubahan sistem.
Hukum ketiga tak lain adalah permainan imajinasi, atau dalam bahasa filsafat suatu struktur kristal sempurna pada nol mutlak merupakan ‘alam ide’ Platonis. Struktur kristal sempurna pada nol mutlak merupakan materi abstrak. Oleh sebab itu, logika hukum ketiga ini menurut Whitehead keliru dalam hal mengkonkretkan suatu hal yang abstrak [misplaced concreteness].
***
Hukum pertama membahas tentang kekalnya energi yang secara tak langsung sesuai dengan persamaan Einstein berarti kekalnya materi. Pada sisi lain ketika membahas tentang sifat-sifat sistem yang senantiasa terjadi perubahan interaksi meramalkan terjadinya kemusnahan sistem alam semesta. Ketidak-konsistenan logika hukum termodinamika terjadi pula dalam hukum ketiganya. Hukum ketiga Termodinamika ini membayangkan suatu susunan kristal sempurna dengan cara mengekstrapolasi sampai mencapai suhu nol mutlak. Sepanjang berbagai macam literatur yang penulis baca, tidak dijelaskan besaran suhu pada nol mutlak tersebut [Celcius, Reamur, Fahrenheit, atau Kelvin). Apabila digunakan suatu besaran yang jelas tentu mempunyai arti. Tentunya dalam sistem yang senantiasa berubah, suhu pun berubah. Apabila dikaitkan dengan sistem, suhu merupakan variabel terikat yang mengikuti perubahan sistem.
Hukum ketiga tak lain adalah permainan imajinasi, atau dalam bahasa filsafat suatu struktur kristal sempurna pada nol mutlak merupakan ‘alam ide’ Platonis. Struktur kristal sempurna pada nol mutlak merupakan materi abstrak. Oleh sebab itu, logika hukum ketiga ini menurut Whitehead keliru dalam hal mengkonkretkan suatu hal yang abstrak [misplaced concreteness].
Labels:
Fisika